Rabu, 13 November 2013

PERJANJIAN LISENSI PATEN SECARA KOMERSIAL DI LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

 PERJANJIAN LISENSI PATEN SECARA KOMERSIAL DI LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM


LATAR BELAKANG
      Kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kemampuan menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mendorong produksi barang jasa dan pembangunan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun ekspor. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saja tidaklah cukup tetapi harus disertai dengan kemampuan mensinergikan berbagai potensi yang ada secara sistematis untuk dapat menghasilkan barang dan jasa yang berdaya saing tinggi (kompetitif). Sejalan dengan hal tersebut interaksi antara industri dan lembaga penelitian dan pengembangan sangat diperlukan guna menumbuh kembangkan jaringan kerjasama untuk meningkatkan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 16 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mewajibkan  lembaga penelitian dan pengembangan, dalam hal ini Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum (Balitbang) untuk mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan kepada badan usaha, pemerintah dan masyarakat. Kewajiban alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut dimaksudkan agar hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai oleh APBN dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, dan menghasilkan nilai tambah ekonomi atau perbaikan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan hidupnya.
      Dengan demikian investasi pemerintah tersebut dapat menghasilkan public return sebesar mungkin. Alih teknologi kekayaan intelektual dalam hal ini Paten, bertujuan mentransfer kemampuan untuk memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dari satu pihak (pemberi) ke pihak lain (penerima)Alih teknologi Paten untuk mendorong inovasi-inovasi yang bermutu dan pemberian penghargaan bagi pelaku penelitian dan pengembangan.  
      Sampai saat ini, Pusat-pusat litbang di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan –  Kementerian Pekerjaan Umum telah banyak menghasilkan beberapa produk litbang yang telah didaftarkan Paten. Bahkan beberapa telah memasuki pasar, yakni Rumah Sederhana Sehat System RISHABIOFIL (Sistem pengolahan Limbah Padat) serta "BIORITY(Sistem pengolahan Limbah Padat)"  dan C-Plus (Teknologi Struktur Bangunan)
      Beberapa inovasi/teknologi yang telah dihasilkan dan dalam proses pendaftaran paten-nya, seperti  Di Puslitbang Jalan dan Jembatan telah dihasilkan teknologi pelapis Jalan yang berupa Pemanfaatan Sludge Oil Sebagai Bahan Peremaja Asbuton Pada Perkerasan di Daerah Terpencil. Di Puslitbang Sumber Daya Air dihasilkan beberapa teknologi seperti Sprinkler BIR versi 1 untuk Irigasi Curah serta "Bangunan Penampung Air Hujan".
     Paten yang merupakan suatu pemikiran intelektual manusia lahir dari suatu kegiatan penelitian dan pengembangan yang tentu saja membutuhkan waktu, tenaga dan biaya, karena itulah Paten mempunyai nilai ekonomis, sehingga apabila penemu tidak dapat melaksanakan sendiri atas Paten nya maka dapat melakukan alih teknologi melalui pemberian izin (bukan pengalihan) kepada pihak lain untuk memanfaatkan Paten secara komersial, dan Penemu mendapat pembayaran berupa fee atau royalty atau disebut Lisensi.
       Lisensi di atas dituangkan ke dalam sebuah perjanjian tertulis yang disebut Perjanjian Lisensi Paten yang klausula-klausulanya disusun secara maksimal untuk mengakomodasi secara seimbang kepentingan dan tujuan para pihak, yaitu pihak Pemilik/Pemegang Paten atau Pemberi Lisensi dalam tulisan ini adalah Badan Litbang Kementerian PU dan Penerima Lisensi sehingga memiliki kepastian hukum dan mencegah bibit-bibit sengketa di kemudian hari.

PERMASALAHAN
Tulisan ini akan menggambarkan dan mengkaji perancangan Perjanjian/Kontrak Lisensi Paten secara komersial di Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum. tujuannya adalah agar menjadi masukan pada saat penyusanan draf Perjanjian/Kontrak Perjanjian Lisensi Paten di Badan Litbang Pekarjaan Umum atas produk teknologi hasil litbang terutama yang telah didaftarkan Paten dan Patent Granted.

PEMBAHASAN
     Paten menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 ( UU Paten) adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
       Definisi senada juga disebutkan dalam Black’s law Dictionary, dimana paten diartikan sebagai: ”A grant of some privilege, property, or authority, made by the government or sovereign of a country to one or more individuals” atau “A grant of right to exclude others from making, using, or selling one’s invention and includes
right to license other to make, use or sell it”.[1]
       
       Dalam hal Paten yang dimiliki oleh  lembaga penelitian dan pengembangan, dalam hal ini BAdan Litbang Kementerian PU, wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh Pemerintah sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian Dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (PP Alih Teknologi).

       Di dalam Pasal 20 PP Alih Teknologi disebutkan pula bahwa Alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh  lembaga litbang dilaksanakan melalui salah satu mekanisme yaitu lisensi.

      Di dalam definisi Paten menurut UU Paten di atas yang menyatakan bahwa apabila inventor atau penemu tidak dapat melaksanakan sendiri invensinya maka dapat memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya, hal ini sama artinya dengan alih teknologi melalui sebuah persetujuan/izin yaitu lisensi yang dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis seperti tercantum dalam Pasal 68 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang paten yang menyatakan bahwa Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian salah satunya karena perjanjian tertulis.
Perjanjian Lisensi Paten diamanatkan pula oleh Pasal 21 ayat (1) dan (2) PP Alih Teknologi yang menyatakan bahwa Lisensi dilakukan melalui perjanjian lisensi, Perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh  lembaga litbang sebagai pemberi lisensi dan penerima alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan sebagai penerima lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lisensi sendiri dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “The sale of a license permitting the use of patents, trademarks, or other technology to another firm”.[2]

Sedangkan pengertian dari perjanjian lisensi menurut Betsy-Ann Toffler dan Jane Imber, diartikan sebagai: “Contractual agreement between two businesses entities in which licensor permits the licensee to use a brand name, patent, or other property rights, in exchange for a fee or royalty”.[3]

Pengertian dari perjanjian lisensi menurut Gunawan Widjaja adalah: “Merupakan suatu bentuk pemberian izin untuk memanfaatkan suatu Hak atas Kekayaan Intelektual, yang dapat diberikan oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi, agar penerima lisensi dapat melakukan suatu bentuk kegiatan usaha, baik dalam bentuk teknologi atau pengetahuan (know how) yang dapat dipergunakan untukmemproduksi, menghasilkan, menjual ataupun memasarkan barang (berwujud) tertentu, maupun yang akan dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa tertentu, dengan mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual yang dilisensikan tersebut”.[4]

Definisi dari perjanjian lisensi juga didalilkan oleh Dewi Astutty Mochtar, dimana beliau menyatakan bahwa: “Perjanjian lisensi merupakan hubungan hukum antara pemilik atau pemberi teknologi, dimana pemilik tekonologi memindahkan teknologinya melalui pemberian hak dengan suatu lisensi kepada setiap orang atau badan hukum”.[5]

Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa Perjanjian Lisensi merupakan perjanjian yang isi pokoknya berupa pemberian hak (bukan pengalihan hak) dari pemegang paten yang merupakan Pemberi Lisensi kepada Penerima Lisensi untuk mempergunakan/memanfaatkan Paten dan memakai Paten untuk membuat, menggunakan dan/atau menjual barang yang ada di bawah lisensi tersebut, dimana Pemberi Lisensi akan memperoleh keuntungan berupa pembayaran fee atau royalty dari Penerima Lisensi. 

Pengaturan tentang Alih teknologi oleh lembaga Litbang Pemerintah di atur di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentag Sistem Nasional Penelitian Pengembangan Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (UU Sinas), Alih Teknologi Paten dengan mekanisme Lisensi diatur dalam Undang-Undang Paten Pasal 69 sampai dengan Pasal 73, serta pasal 74 sampai dengan Pasal 87 tentang Lisensi Wajib. Untuk Perjanjian Lisensi Paten oleh Lembaga Litbang Pemerintah diatur di dalam PP Alih Teknologi. Sehingga pada saat memyusun draf Perjanjian Lisensi Paten, harus mengacu pada UU Paten, UU Sinas, dan PP Alih Teknologi serta secara kontraktual tetap berpedoman pada KUHPerdata.

Berikut ini adalah klausula-klausula yang wajib secara cermat disusun karena dapat menimbulkan akibat hukum yang luas di dalam Perjanjian Lisensi Paten :

A.     Syarat Sahnya Perjanjian Lisensi Paten
Dalam pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan bahwa “untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat:[6]
1)      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2)      cakap untuk membuat suatu perikatan;
3)      suatu hal tertentu;             
4)      suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan ke empat disebut sebagai syarat objektif dari perjanjian.[7]

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, dalam bentuk : [8]

1.   tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan ke pengadilan, keputusan hakim bersifat konstitutif yang artinya 1 dan/atau beberapa pasal dan dirumuskan pasal pengganti;dan
2.    tidak terpenuhinya syarat obyektif, maka perjanjian batal demi hukum, yang diputuskan dalam bentuk putusan hakim yang declaratoir, artinya seluruh perjnajian batal dan dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.

Demikian juga halnya dalam Perjanjian Lisensi Paten, syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata di atas berlaku juga dalam perjanjian lisensi Paten. Selain keempat syarat-syarat umum syahnya 
suatu perjanian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata di atas, dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten juga mensyaratkan bahwa perjanjian lisensi Paten tidak boleh 
memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapatmerugikan perekonomian Indonesia atau 
memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan 
teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) di atas terdapat tiga unsur [9]perjanjian lisensi tidak boleh memuat:
1.      ketentuan baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia;
2.      pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan 
      teknologi pada umumnya; dan
3.   hal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut ketentuan Pasal Pasal 72 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, maka perjanjian lisensi Paten harus dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, kemudian dimuat dalam daftar umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam Pasal 72 ayat (2) dijelaskan pula bahwa apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.   Perjanjian lisensi dapat dibuat secara eksklusif dan secara non eksklusif. Apabila perjanjian lisensi Paten dimaksudkan secara eksklusif, maka hal tersebut harus dibuat secara tegas dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat eksklusif. Oleh karena itu pemberi lisensi masih berhak melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya dan bahkan berhak untuk member lisensi kepada pihak lainnya.[10] 

Hal ini tercantum di dalam Pasal 70 Undang-undang No. 14 tahun 2001  menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain, pemegang paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatannya.   

Syarat Perjanjian Lisensi Paten disebutkan pula dalam Pasal 6 PP Alih Teknologi bahwa Perguruan tinggi dan lembaga litbang tidak dapat mengalihkan pemilikan kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan milik Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada pihak lain. Serta di dalam Pasal 13 PP tersebut juga menyebutkan bahwa Alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan ketentuan :
a.   penerima alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan diutamakan yang bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.   penerima alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan mampu memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara;
c.   kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dialihteknologikan, tidak dinyatakan sebagai hal yang dirahasiakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d.   pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan dilakukan dengan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan.

B.     Subyek Perjanjian Lisensi Paten
Subjek dalam perjanjian lisensi Paten adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi Paten. Perjanjian tersebut dibuat oleh Pemilik/Pemegang Paten atau lisensor yaitu Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Daerah dan Penerima Lisensi/Pengguna atau lisensee yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha, dan/atau Swasta/Masyarakat seperti tercantum di dalam Pasal 3 PP Alih Teknologi.
tercantum di dalam Pasal 3 PP Alih Teknologi.

C.     Objek Perjanjian Lisensi Paten
Jika Undang-undang telah menetapkan bahwa subjek perjanjian adalah para pihak yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari dari objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri.[11]

Maka dalam perjanjian lisensi paten, yang menjadi obyek perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten adalah:[12] 

a.    Dalam hal Paten Produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, atau menyedikan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
b.   Dalam hal Paten Proses; menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

D.     Jenis Lisensi
1.      Lisensi yang didasarkan atas Kesepakatan dan Lisensi Wajib
Lisensi yang didasarkan atas Kesepakatan dituangkan dalam perjanjian berdasarkan prinsip-prinsip umum 
dalam hukum perjanjian dan jenis lisensi ini yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.[13] sedangkan 
lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa 
memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten. Di Indonesia, lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang 
No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal 74 sampai Pasal 87. Lisensi wajib harus bersifat non eksklusif.

2.      Lisensi secara Ekslusif dan Non-Eksklusif
Perjanjian lisensi Paten dapat diberikan secara exclusive dan non-exclusive. [14]Perjanjian lisensi Paten yang dibuat secara eksklusif (khusus) maksudnya bahwa lisensi Paten itu hanya diberikan kepada penerima lisensi untuk jangka waktu tertentu dan wilayah tertentu. Lisensi hanya diberikan kepada pemegang lisensi eksklusif tersebut dalam wilayah tertentu selama jangka waktu berlakunya lisensi.[15] Jika yang dimaksud secara khusus, maka syarat itu harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi Paten, karena apabila tidak dicantumkan, maka perjanjian lisensi tersebut dianggap tidak memakai syarat khusus, sehingga pemegang Paten masih bisa melaksanakan Paten yang dilisensikannya atau memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga lainnya. Sedangkan perjanjian lisensi yang dibuat secara non eksklusif berarti suatu bentuk lisensi yang memberikan kesempatan kepada pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan Paten produksi dan/atau Paten proses.[16] Hal ini dapat dilihat dari makna yang tercantum pada Pasal 69 dan 70 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.

E.     Tahapan Perjanjian Lisensi

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam penguasaan teknologi adalah pengalihan teknologi melalui linsensi. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kontrak pengkomersialisasian teknologi atau alih teknologi. Kontrak inilah yang menjadi dasar bagi para pihak dalam bertindak guna memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Isi dari kontrak ini juga dapat berfungsi sebagai indikator dalam melakukan pelaksanaan, pengawasan, yang diperjanjikan. Hal yang terlebih penting lainnya adalah seluruh isikontrak yang disepakati tersebut menjadi instrumen hukum yang paling kuat dalam melindungi kepentingan para pihak.[17]


Pembuatan kontrak guna mencapai kesepakatan dalam perjanjian lisensi Paten dapat menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan pertama, terkait dengan kurangnya sumber informasi yang dapat diacu secara formal dan mengikat secara hukum tentang Paten. Tidak ada standar perjanjian lisensi Paten secara nasional dan internasional. Faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan Perjanjian Lisensi Paten sangat tergantung pada pada pengalaman dan keahlian negosiasi yang baik dari masing-masing perancang perjanjian/kontrak (Contract Drafter). Namun demikian, terdapat masalah-masalah hukum yang perlu dicatat dalam membuat Perjanjian/Kontrak Lisensi Paten. Masalah tersebut dapat diidentifikasi pada tiga tahapan, yaitu prakontrak, kontrak dan pasca kontrak.[18]

Dalam tahap pra kontrak ini, para pihak dapat melakukan persiapan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut. Dalam konteks ini, para pihak dapat melakukan evaluasi atas teknologi dan aspek pengelolaannya (manajemen dan pemasaran), menilai dan memilih mitra yang potensial, mengidentifikasi pasar, mencermati masalah hukum dalam pengusahaan teknologi, dan lain sebagainya.[19] Dalam tahap ini terdapat masalah hukum , yaitu yang berkaitan dengan permasalahan tekhnis ketika menegosiasikan dan menyepakati terminologi-terminologi yang digunakan dalam kontrak lisensi. Penegosiasian dan perancangan proses tersebut harus diarahkan pada pengharmonisasian tujuan komersial dari lisensor dan tujuan pengembangan teknologi penerima lisensi. Dalam tahap ini, perbedaan para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut harus saling mengenal dan mengetahui satu sama lainnya. Mereka harus dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan melalui kerjasama dan mereka harus dapat mencapai kesepakatan megenai hak yang seimbang antara keinginan masing-masing pihak.[20]

Tahapan berikutnya, yaitu Penandatanganan kontrak yang merupakan momentum lahirnya hubungan hukum diantara para pihak. Pada prinsipnya, hukum yang berkaitan dengan transaksi Hak Kekayaan Intelektual, termasuk diantaranya lisensi Paten sama dengan transaksi personal property lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum kontrak.[21]

Dalam memelihara dan mengembangkan kontrak lisensi adalah penting untuk memahami kebijakan pemerintah dalam pasca kontrak.[22]

F.     Klausula-Klausula Penting Dalam Perjanjian Lisensi Paten

1.   Hak Dan Kewajiban Para Pihak

Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten hanya diatur hak dan kewajiban Pemegang Paten saja, sedangkan hak dan kewajiban penerima lisensi belum diatur baik di dalam Undang-undang tersebut atau peraturan pelaksananya, hak dan kewajiban Pemegang Paten apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan akibat hukum terhadap status Paten tersebut, misalnya kewajiban Pemegang Paten untuk membayar biaya tahunan dan kewajiban pemegang Paten untuk melaksanakan Patennya di Indonesia. Apabila pemegang Paten terlambat membayar biaya tahunan, maka akan dikenakan denda dan bahkan dapat juga Paten tersebut dibatalkan apabila tidak dibayar selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, apabila pemegang Paten tidak melaksanakan Patennya di Indonesia, maka pihak lain yang ingin menggunakan Paten tersebut dapat meminta lisensi wajib dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk melaksanakan Paten tersebut. Dengan demikian, kewajiban untuk membayar biaya tahunan dan biaya lain yang timbul yang diwajibkan oleh Undang-undang terhadap pemegang Paten harus jelas dalam perjanjian lisensi kewajiban tersebut kepada siapa dibebankan.[23]
Menurut Gunawan Suryomucito, dalam perjanjian lisensi Paten, selain karena kewajiban berdasarkan Undang-undang juga ada kewajiban pemegang Paten atau pemberi lisensi yang timbul berdasarkan perjanjian lisensi, seperti:[24]
1)      Menjamin pelaksanaan Paten yang telah diperjanjikan dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga;
2)      Melakukan pengawasan mutu produk terhadap pelaksanaan Paten; dan
3)      Memberitahu penerima lisensi apabila jangka waktu perjanjian lisensi sudah habis masa berlakunya.
Sementara itu, hak pemegang Paten atau pemberi lisensi adalah :[25]
1)      Menerima pembayaran royalty sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak;
2)      Melaksanakan sendiri patennya kecuali diperjanjikan lain; dan

3)      Menuntut pembatalan perjanjian lisensi apabila penerima lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.

Sedangkan hak penerima lisensi Paten berdasarkan Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2006 adalah:[26]
1)      Melaksanakan Paten sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian;
2)      Memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga apabila diperjanjika; dan
3)      Menuntut pembatalan lisensi apabila pemberi lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya.

Kewajiban penerima lisensi Paten berdasarkan Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2006 adalah :[27]
1)      Membayar royalty sesuai dengan perjanjian;
2)      Melaksanakan perjanjian lisensi sesuai dengan perjanjian.

Selain hal-hal di atas Perjanjian Lisensi Paten harus memperhatikan ketentuan daalam Pasal 9 Ayat (1) PP Alih Teknologi yang menyebutkan bahwa Dalam pemilikan secara bersama atas kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dan pihak lain yang membiayai sebagian kegiatan penelitian dan pengembangan, masing-masing pihak mempunyai hak untuk :
a.   mendapatkan pemilikan kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati;
b.    mendapatkan prioritas memperoleh lisensi dan/atau menggunakannya untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan;
c.   mendapatkan imbalan atas kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dimiliki sesuai dengan proporsi kontribusi yang telah disepakati;
d.    mendapatkan perlindungan atas kekayaan intelektual serta hasil kegiatan
penelitian dan pengembangan.

2.   Klausula pelatihan dan asistensi teknis

Dalam Pasal 22 PP Alih Teknologi menyebutkan bahwa Pemberian lisensi oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan pemberian asistensi teknis, pendidikan dan latihan, serta pelayanan jasa ilmupengetahuan lain yang diperlukan penerima lisensi sesuai dengan kesepakatan antara pemberi dan penerima lisensi.


Dalam Pasal 22 di atas memberikan keleluasaan pengaturan kalusula ini, klausula ini diatur tentang pelatihan atau bantuan teknis yang wajib diberikan oleh pemberi teknologi kepada penerima teknologi selama Perjanjian Lisensi Paten berlangsung. Melalui klausula ini penerima teknologi untuk jangka waktu tertentu diberikan kesempatan untuk memanfaatkan keahlian dan keterampilan teknisi dari pihak pemberi teknologi dengan imbalan upah yang disepakati. Teknisi yang bersangkutan umumnya dipekerjakan sebagai staff pada perusahaan penerima teknologi untuk jangka waktu tertentu, jadi tidak permanen dan bukan merupakan kewajiban mutlak bagi penerima lisensi untuk menggunakan pekerja/teknisi dari pemberi lisensi, meskipun secara faktual dan yuridis teknisi tersebut statusnya adalah pekerja dari pemberi teknologi. Penerima teknologi berhak untuk menerima instruksi dan informasi khusus dari teknisi yang bersangkutan mengenai pengoperasian peralatan, operasionalisasi kegiatan, perawatan dan pemeliharaan mesin, dan sebagainya. juga sering diatur dalam klausula ini hak penerima teknologi untuk mendapatkan pasokan komponen peralatan jika diperlukan dan hak untuk mendapatkan informasi mengenai komponen-komponen tersebut. [28]

Selain itu Perjanjian Lisensi Paten harus pula mencantumkan :[29]
a.   Sifat dasar teknologi atau proses yang diperlukan;
b.   Produksi yang diantisipasi untuk dicapai;
c.   Kualitas dan spesifikasi produk;
d.   Keterangan terinci bantuan teknik yang diserahkan oleh pemberi lisensi (dapat berupa daftar rincian dalam suatu lampiran) yang menunjukan perkembangan pada setiap tahap.
e.   Tata cara dimana teknologi dan pelayanan teknik akan diberikan.
1         3.    Garansi
Perjanjian harus mengandung syarat-syarat garansi yang terinci:
a.      Di mana bantuan teknik yang diberikan dalam berbagai tahapan implementasi proyek, penerimaan lisensi harus berusaha memperoleh garansi-garansi sejauh mungkin meliputi setiap saat;

a.      Pelaksanaan garansi sebagai kompensasi kegagalan pelaksanaan harus diperoleh dengan penggantian mesin, peralatan dan pemenuhan kekurangan; garansi-garansi ini juga harus meliputi pelayanan rekayasa dasar dan gabungan alih teknologi;
b.      Meskipun pelaksanaan khusus garansi-garansi akan sulit diperoleh untuk proses jumlah pembuatan yang diizinkan, persetujuan harus membatsi kapasitas produksi, kualitas dan ciri-ciri produk, proses itu termasuk kondisi-kondisi yang harus dipenuhi oleh penerima lisensi;
c.      Pasal mengenai garansi tertentu dapat diberikan jika dipandang perlu, untuk tujuan mendorong komunikasi dan pemberian informasi teknis, gambar spesfikasi dan dokumen lain yang terdiri dari Know how.
4.     Pelibatan Perbaikan-Perbaikan selama kurun waktu persetujuan[30]
Perjanjian harus sejauh mungkin melibatkan usaha sehingga :
a.   Tekonologi yang dialihkan mengikuti perkembangan teknologi mutakhir yang
 diketahui pemberi lisensi;
b.  Penerima lisensi akan diberi informasi mengenai, dan proses lengkap yang diberikan tentang perbaikan-   perbaikan teknologi yang dilaksanakan dalam jangka waktu persetujuan, terrmasuk hak-hak paten yang baru dimintakan atau didaftarkan;
c.   Jika pemberi lisensi melibatkan adanya grant back perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh penerima lisensi  jangka waktu grant back itu harus dirinci dengan jelas.

5.      Kalusula Improvisasi[31
Klausula ini penting bagi pemberi lisensi karena membebankan kewajiban terhadap penerima lisensi untuk 
memberitahukan segala perbaikan (improvement) teknologi yang dilakukannya selama masa berlakunya 
Perjanjian Lisensi Paten. Tanpa adanya klausula ini bisa timbul kesulitan dalam alih teknologi Paten. Di satu 
pihak penerima lisensi dalam menggunakan teknologi hanya bisa memanfaatkan informasi yang diterimanya 
pada saat dibuatnya kontrak sehingga harus bersusah payah sendiri untuk melakukan improvisasi. Apabila 
kontrak diperpanjang atau diperbaharui barulah mungkin diterima informasi/ teknologi yang lebih baru dari 
penerima teknologi. Dilain pihak pemberi lisensi tidak mengetahui kekurangan dari teknologinya dan tidak 
mendapat umpan balik dari penerima lisensi tentang tata cara mengatasi kesulitan selama menggunakan 
teknologi yang bersangkutan. Mengingat penerima lisensi mungkin menemukan sendiri perbaikan dalam 
penggunaan teknologi maka adakalanya klausula ini diperinci lebih tegas untuk menegosiasikan penerima 
lisensi memberikan kembali informasi yang dimilikinya kepada Penerima Lisensi.

6.  Klausula konfidentialitas [32]

Klausula ini mengatur tentang kewajiban menjaga kerahasiaan informasi dan teknologi yang telah diberikan oleh pemberi lisensi atas dasar kepercayaan kepada penerima lisensi. Untuk itu penerima lisensi dilarang mengungkap (disclose) informasi teknis yang diterimanya pada saat berlakunya atau beberapa saat setelah tidak berlakunya Perjanjian Lisensi Paten kepada pihak ketiga. Informasi teknis yang bisa disampaikan adalah informasi yang bersifat publik, atau apabila bisa dibuktikan informasi tersebut telah terdahulu dimiliki oleh penerima teknologi sebelum terjadi Perjanjian Lisensi Paten, atau informasi tersebut diterima dari pihak ketiga baik secara langsung maupun tidak langsung yang menerima informasi tersebut dari pemberi lisensi. Pengungkapan informasi tersebut harus dilakukan tanpa melanggar hak dan kewajiban penerima informasi yang ditetapkan dalam Perjanjian Lisensi Paten.

           7.     Klausula eksklusifitas
Dengan klausula ini dapat ditentukan jenis lisensi paten yang diperjanjikan. Lisensi Paten bersifat non-ekslusif atau ekslusif seperti yang telah dijelaskan pada Huruf D di atas tentang jenis lisensi Paten.

8.     Klausula pembayaran biaya/fee, lumpsum dan royalti
Menurut Pasal 35 PP Alih Teknologi bahwa pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual  dibebankan kepada dan menjadi tanggung jawab penerima alih teknologi kekayaan, namun menurut Pasal 36 dan 37 PP tersebut dimungkinkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat membiayai pelaksanaan alih teknologi kekayaan intelektual pengembangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembiayaan pelaksanaan alih teknologi dapat dilakukan dan/atau mengikutsertakan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam klausula ini diatur tentang besar dan cara pembayaran imbalan yang harus
diberikan kepada pemberi lisensi. Bentuk pembayaran imbalan (sesuai kesepakatan para pihak):
1.   Upah atas jasa pengalihan teknologi, Upah besarnya tidak pasti, karena sangat tergantung pada jasa yang    diberikan dan lamanya jasa diberikan

2.    Lumpsum, Lumpsum jumlah sudah ditetapkan secara pasti dan dapat dibayar di depan oleh penerima 
     teknologi ; Umumnya teknologi yang dialihkan adalah teknologi   yang mudah diserap oleh penerima teknologi,       umumnya teknologi diberikan sekaligus;

3.  Royalti, khusus untuk Perjanjian Lisensi atas Paten yang dimiliki oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah, maka pengaturan royalti di dalam Perjanjian Lisensi Paten mengacu pada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, misalnya Lembaga Penelitian Dan Pengembangan yang berada di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, ketentuan tentang royalti sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Pekerjaan Umum, dan baru baru ini  telah diadakan "Pertemuan Forum Komunikasi Kelitbangan-Agenda Riset Nasional, Royalti (HKI), dan Aset Tak Berwujud Sebagai Acuan Dalam Kegiatan Litbangrap" untuk membahas tentang royalti atas produk hasil penelitian dan pengembangan Badan Litbang Kementerian PU.

    9.      Klausula pelimpahan hak
Menurut Pasal 23 PP Alih Teknologi, bahwa Pemberian Lisensi oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang tidak memberikan hak kepada Penerima Lisensi untuk dapat mengalihkan hak lisensi kepada pihak ketiga Sehingga klausula ini mengatur tentang boleh tidaknya pelimpahan hak (assigment) dari penerima lisensi kepada 
pihak lain. tanpa adanya klausula yang membolehkan pelimpahan teknologi maka pihak penerima lisensi tidak 
boleh melimpahkan teknologi yang diterimanya kepada kepada pihak ketiga. Pelimpahan hak semacam ini 
harus dibedakan dari pemberian sub-lisensi, karena dalam pelimpahan hak pihak yang semula menerima 
lisensi digantikan oleh pihak baru sebagai penerima lisensi sedangkan dalam sub-lisensi pihak penerima 
teknologi tidak berubah dan tetap bertanggungjawab kepada pemberi lisensi. 


10.   Klausula jaminan kebenaran [33]
Klausula ini mengatur tentang ada tidaknya jaminan kebenaran (warranty) bahwa teknologi yang dialihkan terdapat manfaat komersial atau bahwa Hak Patennya masih berlaku, atau bahwa tidak ada pelanggaran terhadap paten pihak lain. Pemberi teknologi pada umumnya enggan untuk menjamin keabsahan paten dan ketiadaan pelanggaran terhadap patennya. Sebaliknya penerima teknologi pada umumnya menghendaki jaminan tentang kecocokan teknologi untuk memperoduksi sesuatu. Padahal cocok tidaknya penggunaan teknologi tersebut sangat tergantung pada keterampilan personil yang menanganinya.

11.   Klausula pengendalian mutu dan tanggungjawab produk
Dengan klausula ini pemberi lisensi mengharapkan dapat menerapkan suatu standar kualitas tertentu yang harus dipatuhi oleh penerima lisensi dalam upaya untuk melindungi reputasi pemberi lisensi dan mencegah terjadinya klaim atas pertanggujawaban produk. Kontrol kualitas ini juga penting dalam hal digunakannya suatu merek dagang. Perlu diingat bahwa pemberi teknologi mungkin terpaksa harus menanggung resiko yang besar akibat penggunaan teknologi oleh penerima lisensi yang merugikan pihak ketiga. Oleh sebab itu pemberi lisensi perlu untuk mengatur tentang kemungkinan ganti kerugian dari penerima lisensi dalam hal demikian dan bilamana mungkin mewajibkan kepada penerima lisensi untuk mengasuransikan resiko penggunaan teknologi yang diberikannya dalam proses produksi.

     12.         Klausula pelanggaran hak 
Klausula ini mengatur tentang pihak mana yang harus menggugat jika ada pelanggaran hak (infringement) yang dilisensikan oleh pihak ketiga. Dengan mengingat sifat eksklusifitas Perjanjian Lisensi Paten, maka pihak pemberi atau penerima lisensi atau kedua pihak secara bersama-sama dapat diberi hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Adanya pelanggaran hak tersebut harus bisa dibuktikan disamping adanya kerugian sebagai akibat yang timbul dari pelanggaran tersebut.

13.           Klausula Keadaan Memaksa
Keadaan Memaksa, Absolut & Relatif, Absolut, tidak ada upaya lagi dari salah satu pihak untuk memenuhi prestasi atau relatif, masih terdapat upaya bagi salah satu pihak untuk memenuhi prestasi, ditentukan bagaimana mekanisme & penanganan, benar benar dapat dibuktikan bukan disebabkan oleh manusia tetapi oleh Tuhan dengan meminta dasar keterangan dari otoritas yang berwenang, kriteria/bentuk keadaan memaksa, tata cara pemberitahuan, penanggulangan atas kerusakan dan tindak lanjut setelah kejadian, asuransi.

14.           Klausula Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian
Jangka waktu berlakunya Perjanjian Lisensi Paten biasanya mulai berlaku sejak tanggal ditandatangani Perjanjian oleh para pihak atau berdasarkan suatu kejadian kejadian tertentu yang disepakati dan dicantumkan dengan tegas di dalam Perjanjian. Kadang-kadang terjadi penundaan dalam pelaksanaan kontrak tetapi suatu kontrak akan terus berlaku sepanjang berlakunya kontrak. Perlu diingat bahwa jangka waktu berlakunya perjanjian pemberian lisensi paten bisa lebih pendek dari pada berlangsungnya paten. Oleh sebab itu pemberi lisensi paten dapat mengatur tetap berlakunya perjanjian lisensi sampai lewatnya jangka waktu berlakunya paten. Jangka waktu harus memperhatikan :
a.      dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang;
b.      Jangka waktu itu cukup menyerap sepenuhnya teknologi yang diperlukan dalam pabrik penerima lisensi;

15.           Klausula perpajakan
Dalam klausula ini diatur tentang kewajiban pembayaran pajak yang timbul dari Perjanjian Lisensi Paten. Pajak pertambahan nilai umumnya dikenakan penerima teknologi atas nilai tambah atas produk yang dihasilkannya. Pajak penghasilan dikenakan pada pemberi lisensi yang dikaitkan dengan besarnya fee, lumpsum atau royalti yang diterimanya dari penerima lisensi, juga diatur tentang pajak-pajak lain yang mungkin dikenakan baik pada penerima maupun pemberi lisensi.

16.        Klausula Penyelesaian Sengketa dan Pilihan Forum
Seperti kontrak pada umumnya klausula penyelesaian sengketa adalah kesepakatan para pihak untuk memilih cara menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Pilihan ini bisa secara litigasi atau non litigasi. Pilihan penyelesaian sengketa secara non-litigas umumnya menggunakan cara-cara negosiasi, mediasi atau arbitrase. Kemudian juga ditentukan hukum acara arbitrasi yang dipergunakan serta tempat arbitrase dilakukan, jika dipilih arbitrase sebagai cara menyelesaikan sengketa para pihak. Jika para pihak menentukan musyawarah sebagai cara yang diutamakan, maka sebaiknya diatur secara tegas dan jelas mekanisme musyawarah termasuk mengenai tempat musyawarah, mekanisme musyawarah dan lamanya musyawarah dilaksanakan.
Lembaga penyelesaian sengketa harus TEGAS disebutkan dalam kontrak, lembaga Arbitrase ATAU Pengadilan sesuai domisili hukum, tidak dapat keduanya dicantumkan, karena Lembaga Arbitrase dan Pengadilan dapat menolak karena tidak diatur secara tegas di dalam kontrak oleh para pihak. Hal ini berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Seandainya yang dipilih oleh pra pihak adalah Arbitrase, maka Pasal arbitrase biasanya harus dirinci :
a.      Tempat dimana arbitrase akan diadakan,
b.      Cara dan pemilihan arbitor dan prosedur arbitrase.
Dalam ketentuan Undang-undangan Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, penyediaan sarana Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) bukan merupakan prasyarat yang wajib ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa sebelum memasukkan gugatan perdatanya melalui jalur litigasi. Sarana alternatif penyelesaian sengketa hanya merupakan yang disediakan pada para pihak yang bersengketa atau dengan kata lain penggunaannya tergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat pada sarana ini.

17.           Ketentuan Mata Uang
a.      Pada umumnya pembayaran harus dilakukan dalam mata uang yang dapat saling dipertukarkan.
b.   Penerima lisensi harus mencoba untuk meyakinkan bahwa pembayaran pertama untuk knowhow dilakukan         dalam mata uang asing tetapi pada pembayaran 
c.   berikutnya dari yang dapat saling dipertukarkan dengan kesepakatan khusus, seperti kesepakatan pada             penandatangan persetujuan.

18.           Merek
Dimana penggunaan merek atau nama pemberi lisensi merupakan bagian dari persetujuan atau dimana ada persetujuan khusus untuk penggunaan itu:
a.      Bentuk cara dan pengembangan penggunaannya harus ditetapkan.
b.      Dari pandangan penerima lisensi akan diinginkan untuk mencantumkan keduanama pada produk penerima lisensi dan nama serta merek pemberi lisensi, bagaimanapun dapat digunakan dalam hal-hal demikian pemberi lisensi juga berusaha memasukan sesuatu ketentuan untuk mengatur kualitas, yang akan diatur secara cermat, yang akan memperhatikan setiap masalah khusus yang harus dihadapi penerima lisensi.

19.           Pemeriksa Pembukuan Penerima Lisensi dan Laporan Oleh Penerima Lisensi
hal ini terkait dengan kewajiban Pemberi Lisensi dalam hal ini adalah Lembaga Litbang Pemerintah yang diamanatkan Pasal 41 PP Alih Teknologi, yaitu :
a.      menyusun dan mengirimkan kepada Menteri Keuangan mengenai penatausahaan, sistem pembukuan, dan sistem pelaporan yang akan diterapkan dalam pelaksanaan rencana kerja pendapatan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan lembaga;
b.       menyelenggarakan pembukuan secara tertib, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

20.           Klausula hukum yang mengatur [34]
Hal ini diatur apabila Penerima Lisensi adalah pihak asing, klausula ini berisi kesepakatan para pihak tentang pilihan hukum yang mengatur kontrak alih teknologi yang bersangkutan. Seperti kontrak pada umumnya, pilihan hukum seperti ini penting untuk mendapatkan kepastian tentang hukum yang akan dipergunakan jika terjadi perselisihan. Pada umumnya ada 4 pilihan hukum yang dapat dipertimbangkan oleh para pihak, yakni :
a.      Hukum negara penerima teknologi ;
b.      Hukum negara pemberi teknologi ;
c.      Hukum negara ketiga yang netral ;
d.      Hukum negara yang memberikan perlindungan pada teknologi yang bersangkutan.
Saat ini telah ada upaya secara internasional agar disusun code of conduct tentang alih teknologi yang berlaku 
secara internasional. Namun, hal ini belum terwujud karena alih teknologi selain berdimensi hukum juga memiliki 
dimensi politik yang sangat sarat dengan kepentingan negara penerima dan pemberi teknologi.

21.           Klausula addendum
Dalam klausula addendum diatur tentang kemungkinan terjadi perubahan atau peninjauan ulang klausula-klausula yang sudah ditetapkan untuk dilakukan sejumlah penyesuaian berdasarkan kesepakatan para pihak. Dalam klausula addendum umumnya diatur tentang sebab-sebab addendum, mekanisme pengambilan keputusan untuk addendum. Pada klausula addendum lazim dicantumkan bahwa segala addendum yang dilakukan para pihak setelah ditandatanganinya perjanjian akan mengikat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut setelah addendum yang bersangkutan disetujui/ disepakati oleh para pihak.

2.           Ketentuan Umum
Ketentuan umum terdiri dari :
a.     tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;
b.    nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi;
c.     nomor dan judul dari paten yang menjadi obyek perjanjian lisensi;
d.     Definisi, Penafsiran, Surat Menyurat, Bahasa Kontrak
e.   batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan;[35]
e.     Manajemen;
f.     Kewajiban penerima lisensi untuk memperoleh peralatan, alat-alat atau bahan mentah dari sumber yang telah ditetapkan;
g.    Pelarangan penggunaan teknologi lain;
h.     Penjualan barang produksi sesuai dengan kehendak pemberi teknologi/pelarangan ekspor;
i.      Penentuan personil dari pihak pemberi teknologi; dan
j.      Pembatasan harga penjualan [36]
KESIMPULAN
Dilihat dari dari uniknya subyek Pemberi Lisensi dalam Perjanjian Lisensi Paten yaitu Lembaga Litbang Pemerintah, dalam hal ini Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum, maka seluruh klausula-klausula yang ada di dalam Perjanjian tidak dapat secara murni berasaskan kebebasan berkontrak antara privat to privat seperti yang dimaksud dalam KUH Perdata, ada pembatasan-pembatasan khusus, karena paten yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan di Lembaga LitbangPemerintah didanai baik sebagian atau seluruhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga ada pertanggungjawaban keuangan negara yang harus dikelola secara hati-hati demi kepentingan rakyat, sehingga pada saat menyusun draf Perjanjian Lisensi Paten, kalusul-klausul penting di atas harus dikaji secara hukum atas dampak dan kepastiannya bagi para pihak, negara, dan rakyat.




[1] Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Ed., (St Paul MN: West Publishing Co,
1991), p. 778.
[2] Black, op.cit., p. 635.
[3] Betsy-Ann Toffler dan Jane Imber, Dictionary of Marketing Terms, (New York: Barrons
Educational Serries, 1994), p.455
[4] Widjaja Gunawan, Lisensi, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 139.
[5] Mochtar Dewi Astutty, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan Teknologi
Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hlm. xxi

[6] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakart: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 93 
[7]  Ibid. hal. 2
[8] Ibid. Hal. 94
[9] Gunawan Suryomurcito, dkk, Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), 2006, Tanpa Nomor Halaman  
[10] Ibid
[11] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. 10.
[12] Gunawan Suryomurcito, dkk, Op. Cit
[13] Sudargo Gautama, Pembaruan Undang-undang Paten, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 70. 
[14] Gunawan Suryomurcito, dkk, Op. Cit
[15] Ibid.  
[16] Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 193. 
[17] Ibid.
[18] Ibid
[19] http//www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, terakhir diakses tanggal 2 November 2013 
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Segi-segi Hukum Pelimpahan Teknologi, Tim Proyek Pusat Perencanaan Hukum dan Kodifikasinya BPHN, Jakarta, 1982 halaman 14
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum, Kontrak Alih Teknologi, Bahan Ajar Hukum Kontrak Internasional-Kontrak alih Teknologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.
[29] Yusdinal, Perlindungan Terhadap Lisensi Paten, Tesis-Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hal. 139-140
[30] Ibidhal. 140
[31] Dr. Mahmul Siregar, Op. Cit.
[32] Ibid
[33] Taufik Kurniawan, “Kapan Indonesia Bisa Mandiri di Bidang Teknologi?Tinjuan Kritis Kontrak Lisensi Alih Teknologi Di Indonesia. jurnal ilmiah Gema Keadilan Undip.2011.diakses melalui www.blogger.com – kurniowen77 tgl 13 November 2013.
[34] Dewi Atutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2001, hal. 149.
[35] Ibid.
[36] Dr. Mahmul Siregar, Op. Cit